
Tahun baru tinggal menghitung jam. Apakah resolusi yang kamu buat di tahun 2012 untuk tahun 2013 sudah bertanda check list semua? Jujur saja, kalau aku sih belum 😀
Salah satu resolusi yang aku buat untuk tahun 2013 kemarin yaitu membaca lebih dari 5 buku. Alhamdulillah sudah diberi tanda check list :). Aku sengaja memasukan hal tersebut guna memotivasi diri untuk lebih banyak membaca. Beberapa tahun belakangan ini waktu aku untuk membaca berkurang karena disibukan dengan media sosial dan kerjaan. Alasan!
Di sini aku akan menuliskan resensi singkat mengenai buku-buku yang sudah aku baca. Semoga aku ingat sudah membaca buku apa saja di tahun 2013 ini 😀
Aku membaca buku ini karena mendapat kiriman e-book dari salah satu teman ku yang merupakan aktivis
kemanusiaan. Aku tertarik untuk belajar tentang sejarah Indonesia khususnya pergerakan perempuan dan tragedi ’65. Di dalam buku ini menjelaskan mengenai Gerakan 30 September (G30S) yang merupakan peristiwa misterius sampai saat ini. Rezim Orde Baru yang dipimpin oleh Soeharto mengartikan gerakan ini adalah gerakan dari Partai Komunis Indonesia (PKI). Maka dari itu, istilah /PKI disisipkan dalam G30S menjadi G30S/PKI, sehingga seolah-olah gerakan ini adalah murni dari PKI. Peristiwa ini menjadi legitimasi Tentara Nasional Indonesia – Angkatan Darat (TNI-AD) untuk “menghabiskan” PKI sampai keakar-akarnya.
Buku ini mengambil sumber yang dapat dipertanggungjawabkan seperti kesaksian Supardjo dan Sjam di Pengadilan Militer, Mahmilub. Juga beberapa kesaksian dari para tahanan politik (tapol) yang masih hidup dan menjadi saksi sejarah peristiwa ini, serta berbagai literatur dari berbagai arsip dari Stanford University, USA; International Institute of Social History, Amsterdam; dokumen (agen intelijen USA); dan juga literatur lainnya yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Menurut ku, buku ini dapat menjadi penawar kegelapan sejarah yang diajarkan di sekolah-sekolah dan media selama ini khususnya ketika rezin Orde Baru. Buku ini yang membuat ku penasaran dan ingin mengunjungi Museum yang berlokasi di Lubang Buaya, kalau ada yang tertarik bisa ajak aku 🙂
2. Tahun Yang Tak Pernah Berakhir
Buku ini dikirimkan oleh teman ku yang juga mengirimkan e-book “Dalih Pembunuhan Masal”. Aku cukup kaget dan bangga, ternyata teman ku itu adalah salah satu penulis buku ini. “Tahun Yang Tak Pernah Berakhir” merupakan kumpulan penelitian sejarah mengenai peristiwa ’65 dari berbagai macam sudut pandang. Metode penelitian sejarah yang digunakan dalam buku ini yaitu sejarah lisan.
Kalau dikatakan suatu penelitian sejarah hanya dilakukan dengan meneliti arsip, maka tidak akan muncul pertanyaan yang meragukan kebenaran arsip tersebut. Metode penelitian dengan memakai sejarah lisan dipakai dalam penyusunan esai-esai buku ini, guna mengajukan ingatan sosial yang dimiliki oleh para korban peristiwa ’65. Menurut ku, ingatan sosial tersebut jelas berbeda dengan ingatan sosial yang dibentuk oleh Orde Baru (Soeharto).
3. Mereka Bilang Di Sini Tidak Ada Tuhan
Buku ini aku dapat dari dokumen yang diberikan ketika kegiatan pelatihan yang diadakan oleh Youth Rights Festival. Di dalam buku ini diceritakan tentang pengalaman penderitaan dan luka batin para korban dan keluarga korban dalam Tragedi Tanjung Priok (12 September 1984). Menurut ku, buku ini dapat membuat kita terbuka dengan peristiwa Tanjung Priok yang sebenarnya, karena ditulis berdasarkan pengalaman pribadi dengan teknik wawancara.
4. Incest
Dari puluhan buku koleksi pasangan ku, buku ini sudah lama aku incar untuk dipinjam dan tentunya dibaca. Awalnya aku tertarik dengan ukuran buku yang cukup mini ini, selain itu judul “Incest” juga membuatku penasaran. Cerita yang diangkat dalam buku ini berdasarkan kisah nyata yang ternyata berbenturan dengan etika adat yang dianut oleh salah satu desa di Bali. Fokus cerita dalam buku ini yakni lahirnya bayi kembar buncing (anak kembar laki-laki dan perempuan), dimana desa tersebut tidak menerima kehadiran bayi kembar buncing karena hal ini merupakan aib bagi desa. Adat di desa akan menghukum pasangan kembar buncing beserta kedua orang tuanya sebagai upaya “pembersihan” dari aib. Lalu, hukuman dilakukan dengan cara mengasingkan (dibuang) keluarga kecil tersebut selama beberapa hari. Setelah masa pembuangan selesai, hukuman tidak selesai begitu saja. Orang tua yang melahirkan bayi kembar buncing masih harus menyelenggarakan upacara untuk membersihkan desa dari aib karena kelahiran anak mereka. Seluruh masyarakat di desa diminta oleh adat untuk merahasiakan kelahiran bayi kembar yang berlainan jenis kelamin itu. Salah satu dari bayi kembar bucing itu juga harus dipisahkan dari orang tua, tujuannya agar kedua saudara kembar tersebut tidak saling kenal setelah dewasa. Ini dilakukan karena kedua bayi kembar bucing itu akan dinikahkan setelah dewasa.
Buku ini menceritakan kehidupan budaya salah satu desa di Bali dengan teknik etnografi. Awalnya buku ini ditulis dalam cerita bersambung pada Harian Bali Post, tetapi sayangnya, cerita bersambung itu harus berhenti di tengah jalan karena penulis terlibat pengadilan adat sebab awalnya penulis menggunakan nama desa yang menjadi desa penulis. Menurutku, nilai tambah dalam buku ini yakni karena penulis mengalami pahitnya keputusan adat desa yang menyebabkan ia diusir dari desanya selama beberapa tahun.
5. Jalan Raya Pos, Jalan Daendels
Lagi-lagi buku ini hasil pinjaman dari koleksi buku pasangan ku. Menurut dia, aku harus membaca buku ini karena aku sering melakukan perjalanan yang ternyata jalan tersebut ada dalam buku ini. Melalui buku ini, penulis menceritakan mengenai Jalan Raya Pos, dimana pembahasan ini sebenarnya sudah disinggung dalam mata pelajaran sejarah di sekolah. Namun sayangnya, dalam mata pelajaran sejarah di sekolah tidak detail mengungkap sejarah pembuatan dan sisi kelam di balik pembuatan jalan tersebut. Buku ini merupakan kesaksian tentang peristiwa genosida kemanusiaan yang mengerikan di balik pembangunan jalan sepanjang 1000 km, yang dibangun dengan cucuran darah dan air mata pribumi karena bekerja dengan paksaan.
Menurutku, buku-buku karya Pram ini dapat dijadikan referensi atau bahkan dijadikan buku wajib di sekolah. Karena buku-buku tersebut mengungkap dan memberi kesaksian tentang peristiwa-peristiwa kemanusiaan yang ternyata mengerikan.
Berawal dari kesukaanku jalan-jalan, aku tertarik untuk menuliskan cerita dari perjalananku. Tetapi, karena menyadari akan keterbatasan ilmu dalam menulis, maka buku ini merupakan salah satu referensi belajar menulisku. Dengan membaca buku ini, ternyata tidak hanya diajak untuk mengenali suatu daerah, tetapi juga diajak untuk menyelami berbagai makna dalam kehidupan dari sebuah perjalanan. Makna perjalanan yang diajarkan dalam buku ini mencakup banyak hal, menggabungkan tujuan dan perenungan dalam hidup. Gaya penulisan dalam buku ini juga menarik, karena penulis membuat dua plot paralel yang menceritakan tentang makna perjalanan dan Mama dari si penulis, yang nantinya pembaca akan menemukan benang merah di tiap bagiannya. Namun ini bukan hal yang mudah.
Sebenarnya aku sudah membaca buku ini saat 2012, namun versi softcopy. Di 2013, ternyata Bapak dari pasanganku punya buku ini. Jadi akhirnya aku meminjam buku ini dari Bapaknya. Menurutku ini adalah buku tua yang cukup sulit dicari. Buku yang menceritakan mengenai catatan harian seorang Ahmad Wahib yang konsisten merekam pergelutan pemikirannya. Buku ini lebih mirip seperti diari. Yang menarik dari buku ini karena penulis mengikuti secara dekat perdebatan para intelektual di era Orde Baru. Dalam catatannya, penulis mencoba mempertanyakan mengenai apa yang sudah diyakini selama ini mengenai ilmu pengetahuan, ajaran Islam dan khususnya Tuhan. Â Ahmad Wahib wafat di usia muda karena tertabrak motor :'(
8. Persepolis
Sebelum membaca bukunya, aku lebih dulu menonton film-nya. Dan ternyata, keduanya sama-sama bagus! Aku meminjam buku ini dari teman sekontrakan yang kamarnya berada pas di samping kiri kamarku. Buku berbahasa Inggris ini selain ceritanya menarik, gambar yang ditampilkan juga bagus. Iya, buku ini merupakan graphic-novel dari penulis ketika masa kecil sampai dewasa. Politik, paksaan dalam menjalankan agama, kebebasan dan lain sebagainya diangkat dalam buku ini. Penulis sengaja menulis “Persepolis” agar orang-orang semua tau seperti apa situasi di Iran. Karena menurutnya, orang-orang selama ini hanya melihat dan mendengar tentang Iran dari televisi. Mereka tidak tahu seperti apa sebenarnya revolusi yang terjadi di Iran yang menjadikan negara tradisional itu menjadi negara religius Islam.
9. Dilarang Gondrong!
Sebelum membaca bukunya, di awal tahun 2013 aku sempat bertemu dengan penulis buku ini dalam suatu pelatihan anak muda. Penulis menceritakan secara langsung mengenai praktik kekuasaan di era Orde Baru terhadap kebebasan anak muda awal tahun 1970-an. Karena aku tertarik dan penasaran dengan apa yang diceritakan, akhirnya aku menemukan buku ini ketika ada pameran buku di Yogyakarta. Buku ini menarik, karena menceritakan mengenai sesuatu yang hampir tidak terpikir oleh anak muda di era 2000-an tentang apa yang dialami oleh anak muda di era 70-an tentang kebebasan mereka dalam berekspresi. Pemaknaan atas tubuh mengalami penunggalan dan praktik kekuasaan membuat tubuh kehilangan otoritas. Secara tegas penulis merujuk pada praktik era Orde Baru yang muncul setelah Presiden Soekarno jatuh. Seperti yang kita tahu bahwa Orde Baru akan menghalalkan berbagai cara agar cita-citanya demi pembangunan dengan berusaha meredam atau membersihkan berbagai hal yang dicemaskan dapat mengganggu stabilitas sosial. Salah satu caranya yakni dengan pelanggaran terhadap rambut gondrong yang terjadi sekitar tahun 1960-an hingga 1970-an. Orde Baru menganggap anak muda yang berambut gondrong adalah anak muda yang memiliki nilai negatif di masyarakat, seperti urakan, tidak bertanggungjawab, dan tidak mengacuhkan masa depan diri maupun bangsanya. Anak muda dengan rambut gondorng akan dipersulit jika ingin mengurus dokumen kependudukan. Dan parahnya lagi, media massa kala itu ikut berperan dalam membuat citra buruk bagi orang khususnya anak muda yang berambut gondrong. Kalau kita lihat menurutku efeknya sampai saat ini adalah diskriminasi terhadap anak muda berambut gondrong. Sadar atau tidak, beberapa dari kita masih khawatir, takut dan merasa tidak nyaman ketika bertemu dengan orang yang berambut gondrong. Bukan begitu?
10. Sekolah itu Candu
Aku membaca buku ini sebagai penutup di tahun 2013, sekaligus menemaniku dalam kegalauan untuk melanjutkan sekolah (lagi). Buku ini mengajak pembaca mengenal sekolah dari masa awalnya hingga praktik yang berlangsung saat ini. Istilah sekolah yang berasal dari kata schola (bahasa latin) yang berarti waktu luang, dimana orang tua menitipkan anak mereka untuk mengisi waktu luang yang seiring berjalannya waktu semakin lama semakin berkembang dengan klasifikasi berdasarkan tingkatan dan materi sehingga akhirnya membentuk sistem kurikulum. Awalnya tidak ada hal-hal yang baku, tetapi sekarang semua menjadi serba dibuat baku. Tidak hanya sekolah yang menyeragamkan, sekolah juga mulai dibisniskan. Ada kalimat yang aku suka dalam buku ini: …pelajar dan mahasiswa dipisahkan dari persoalan masyarakat yang sebenarnya. Mereka hanya belajar, belajar dan belajar… Padahal ketidakadilan terus berlangsung… Mereka mengejar ijazah sementara rakyat megap-megap cari sesuap nasi… (hal. 60)
Finally, dari target 5, akhirnya aku bisa membaca 10 buku di tahun 2013. Semoga di tahun depan aku bisa membaca buku lebih banyak lagi, bahkan ikut menyumbangkan tulisan. Amin. ^_^