W.S. Rendra, menjelang akhir hayatnya:
Seringkali aku berkata,
Ketika semua orang memuji milikku
Bahwa sesungguhnya ini hanyalah titipan
Bahwa mobilku hanyalah titipan-Nya
Bahwa rumahku hanyalah titipan-Nya
Bahwa hartaku hanyalah titipan-Nya
Bahwa putraku hanyalah titipan-NyaTetapi, mengapa aku tak pernah bertanya:
“Mengapa Dia menitipkan padaku?”
“Untuk apa Dia menitipkan ini padaku?”
“Dan kalau bukan milikku, apa yang harus kulakukan untuk milik-Nya itu?”
“Adakah aku memiliki hak atas sesuatu yang bukan milikku?”
“Mengapa hatiku justru terasa berat, ketika titipan itu diminta kembali oleh-Nya?”Ketika diminta kembali, kusebut itu sebagai musibah,
kusebut itu sebagai ujian, kusebut itu sebagai petaka,
kusebut itu sebagai panggilan apa saja untuk melukiskan kalau itu adalah derita.Ketika aku berdoa, kuminta titipan yang cocok dengan hawa nafsuku.
Aku ingin lebih banyak harta,
ingin lebih banyak mobil,
lebih banyak popularitas,
dan kutolak sakit.
Kutolak kemiskinan,
seolah semua “derita” adalah hukum bagiku.Seolah keadilan dan kasih-Nya harus berjalan seperti matematika:
Aku rajin beribadah, maka selayaknyalah derita menjauh dariku, dan nikmat dunia kerap menghampiriku.Kuperlakukan Dia seolah mitra dagang, dan bukan kekasih.
Kuminta Dia membalas “perlakuan baikku”, Dan menolak keputusan-Nya yang tak sesuai keinginanku.
Gusti,
Padahal tiap hari kuucapkan, hidup dan matiku hanya untuk beribadah.“Ketika langit dan bumi bersatu, bencana dan keberuntungan sama saja”
Saya menulis ulang pikiran W.S. Rendra tersebut setelah mendapatkan pesan elektronik dari Mas Danu Saputra. Sebuah refleksi di awal tahun, memang terkadang hubungan dengan Tuhan seperti proses jual-beli, penuh hitung-hitungan dan perhitungan.
Manusia, yang katanya makhluk paling sempurna.
Astagfirulloh.