Mencontoh Model Pendidikan Tuhan

Aku akan menyinggung tentang Tuhan, tetapi aku tidak sedang berbicara nilai-nilai keagamaan. Konsep Tuhan aku gunakan dalam paparan ini karena konsep itu relatif familiar di dalam pemikiran kita dan karenanya aku berharap paparan aku bisa lebih mudah dicerna dan dipahami. Selain karena sikap dan perilaku kita juga dipengaruhi oleh kesadaran iman yang kita yakini. Jadi, naskah berikut yang akan Anda baca ini dimaksudkan untuk menjelaskan pemahaman praktis atas filosofi spiritual yang terdapat dalam kesadaran iman kita.

Salah satu bentuk kesadaran iman kita adalah keyakinan bahwa semua hal yang kita ketahui selalu bersumber dari Tuhan. Jadi, kalau kita ingin bicara tentang bagaimana cara yang paling baik dalam mengasuh dan mendidik anak, sebetulnya sosok paling kompeten yang bisa kita jadikan acuan atau panutan, juga adalah Tuhan. Bagaimana cara dan pola perlakuan Tuhan terhadap manusia, sebetulnya adalah acuan yang paling ideal tentang bagaimana cara dan pola terbaik memperlakukan anak-anak.

Secara prinsip, ada tiga hal yang diajarkan dan dicontohkan Tuhan di dalam caranya memperlakukan manusia, guna mengasuh dan mendidik manusia menjadi lebih matang dan bijak. Tiga hal pokok itu adalah:

1) Kesempatan Memilih
Tuhan memiliki kuasa yang absolut atas manusia. Semua yang terjadi pada manusia, adalah atas kehendak-Nya. Demikian dengan orang tua. Sampai batas tertentu, kuasa orang tua atas anak juga cenderung mendekati absolut karena hanya akan terjadi atas kehendak orang tua. Jadi, kalau ada manusia berbuat dosa, itu juga atas kehendak Tuhan. Mengapa Tuhan bisa mengizinkan manusia berbuat dosa? Bukankah, Tuhan meminta kita mengumpulkan pahala?

Secara rasional, hal itu menunjukkan bahwa sesungguhnya Tuhan sudah memberikan contoh dan mengajarkan bahwa Tuhan memberikan kesempatan pada manusia untuk memilih. Tuhan hanya berkata: “Ini ada bus merek pahala tujuan surga, ini ada bus merek dosa tujuan neraka. Kalau mau ikut aku ke surga, belilah tiket bus pahala. Kalau naik bus dosa, kamu akan terbawa ke neraka. Silakan dipilih sendiri, mau naik bus pahala atau bus dosa.”

Demikian halnya dalam pembicaraan tentang mengasuh dan mendidik anak. Sebagai orang tua, sudahkah kita memberi kesempatan kepada anak-anak untuk memilih? Sudahkan kita memberi kesempatan pada anak-anak untuk menyatakan apa yang sedang dipikirkan/dirasakan? Sudahkah kita membekali anak-anak dengan pengetahuan dan keterampilan menentukan pilihan secara tepat?

Secara rasional, mungkin kita sudah memahami konsep itu dan sepakat bahwa hal itu memang perlu dilakukan. Persoalannya, sering kali pemahaman kita tentang suatu konsep tidak langsung bisa diterjemahkan dalam tindakan nyata karena pertimbangan-pertimbangan emosional, antara lain: (a) khawatir anak salah pilih; (b) khawatir anak mengalami kesulitan; (c) khawatir anak “terjatuh”/”terluka”, dan sebagainya. Hal ini sangat bisa dimengerti, mengingat pemahaman kita, orang tua, terkadang menginginkan anak bisa hidup lebih baik tanpa perlu mengalami bermacam kesulitan seperti yang pernah dialami orang tua.

2) Kesempatan Belajar
Dengan memberi kesempatan berbuat dosa, Tuhan tidak hanya memberi kesempatan memilih. Ia juga sedang membantu manusia mengembangkan kemampuan berpikir (bekal istimewa yang ia berikan hanya kepada manusia). Dengan memilih dan menghadapi akibat dari pilihannya, maka kemampuan berpikir manusia akan terangsang untuk berfungsi guna mendukung kehidupannya.

Secara rasional, hal itu menunjukklan bahwa Tuhan sudah memberikan contoh dan mengajarkan bahwa kesalahan adalah faktor penting yang diperlukan oleh manusia. Tuhan tahu manusia akan belajar dari kesalahan karena kemampuan berpikirnya akan terangsang oleh ketidaknyamanan yang dialami akibat kesalahan itu. Tuhan hanya berkata: “Sekarang, kamu tahu bagaimana rasa tidak nyaman yang dihasilkan oleh perilaku itu. Apakah kamu masih mau mengalami rasa tidak nyaman itu? Kalau tidak mau, tinggalkan perilaku yang menimbulkan rasa tidak nyaman itu.”

Demikian halnya dalam pembicaraan tentang mengasuh dan mendidik anak. Sebagai orang tua, sudahkah kita memberi kesempatan pada anak-anak untuk berbuat salah dan belajar dari setiap kesalahan yang diperbuatnya itu? Sudahkan kita membekali anak-anak dengan pengetahuan dan keterampilan untuk belajar dari kesalahan? Termasuk juga belajar dari kesalahan orang lain.

Di sinilah letak perbedaan tingkat kematangan dan kebijakan Tuhan, dan tingkat kematangan dan kebijakan manusia. Tuhan siap memberi kesempatan manusia jatuh ke dalam dosa, tetapi belum banyak orang tua yang siap memberi kesempatan pada anak untuk jatuh ke dalam kesalahan dan menghadapi akibatnya. Kondisi inilah yang membuat perkembangan kemampuan berpikir anak jadi terhambat, karena tidak memperoleh kesempatan untuk berpikir. Bila semua perilaku anak telah ditentukan oleh orang tua, untuk mereduksi peluang kesalahan atau kecelakaan, maka tidak ada alasan lagi bagi anak untuk berpikir. Akibatnya, anak jadi tidak terbiasa berpikir. Bahkan, ia membiarkan orang lain berpikir untuknya dan akhirnya lalu menuntut untuk orang lain berpikir seperti yang dikehendaki.

3) Kesempatan Bertobat
Tuhan, walau memiliki kuasa absolut atas manusia, tidak pernah memaksa manusiauntuk terus tinggal bersamanya. Ia tidak sakit hati, tidak kecewa, tidak frustasi, bila manusia meninggalkan/mengabaikan diri-Nya. Ia tidak mendendam, ia tidak menghujat, ia tidak menolak, kalau ada manusia yang kembali mendatanginya setelah lama pergi tanpa kabar berita.

Aku menggunakan istilah “tidak kecewa”, bukan “tidak sedih”, karena kecewa berkait harapan terhadap orang lain, sementara sedih berkait gejolak emosi/perasaan dalam diri. Jadi, Tuhan juga bersedih kalau manusia memilih naik bus dosa, tetapi Tuhan tidak akan kecewa karena kesempatan memilih yang diberikannya membuka peluang terjadinya perbedaan di antara harapan Tuhan dan pilihan yang dibuat manusia.

Secara rasional, hal itu menunjukkan bahwa Tuhan sudah memberikan contoh dan mengajarkan bahwa Tuhan memperlakukan manusia sebagai makhluk yang merdeka. Tuhan memberikan hak penuh pada manusia untuk menentukan langkah hidupnya secara mandiri. Tuhan hanya berkata: “Silakan kamu mengarungi kehidupan dan belajarlah darinya. Aku akan tetap ada di rumah ini, kalau satu saat nanti kamu memerlukan tempat berteduh atau melepas lelah atau mengobati luka akibat kecelakaan atau kesalahan yang terjadi sepanjang perjalanan hidupmu.

Demikian halnya dalam pembicaraan tentang mengasuh dan mendidik anak. Sebagai orang tua, sudahkah kita siap melepas keterikatan kita pada hidup anak-anak kita? Sudahkah kita siap menyediakan pelukan hangat bagi anak-anak yang telah meninggalkan kita? Sudahkan kita siap menyediakan dukungan total saat kita mendapati anak-anak sudah hampir mati terkoyak-koyak berjuta duri kehidupan yang telah dilaluinya?

Di dalam kenyataan, hal ini bukanlah sesuatu yang mudah dilakukan, karena ini menyangkut harga diri dan kewibawaan orang tua di hadapan anak-anak. oleh karena itu, bila orang tua masih sulit menjalankan fungsi tersebut, maka pertanyaan yang perlu direnungkan adalah: apakah hal itu membuat Tuhan kehilangan harga diri/kewibawaannya di hadapan manusia?

Dari tiga hal pokok yang menjadi intisari nilai filosofis perlakuan Tuhan terhadap manusia itu, ada beberapa hal yang bisa diterjemahkan dalam pola hidup keseharian berkait perlakuan orang tua pada anak-anaknya, yaitu:

  1. Secara prinsip, perselisihan orang tua dan anak selalu dilatarbelakangi oleh perbedaan kepentingan.
  2. Secara prinsip, perlakuan manusia selalu dimaksudkan untuk memperoleh atau mempertahankan kenyamanan, apapun bentuknya.
  3. Secara prinsip, keluhan yang ditampilkan orang tua maupun anak selalu akan berarti “orang lain membuat aku menjadi tidak nyama”.
  4. Secara prinsip, pokok masalah berkait perselisihan orang tua dan anak adalah tentang kesanggupan (mau sekaligus mampu) bersepakat, termasuk bersepakat untuk tidak sepakat.
  5. Secara prinsip, yang perlu dilakukan orang tua adalah:
    • Memahami bahwa anak belum cukup mahir berpikir, sehingga perlakuan orang tua perlu juga disesuaikan dengan tingkat kemahiran berpikir anak.
    • Memahami, bahwa sejak bayi diperlukan rangsangan supaya anak jadi terbiasa memilih, dalam bentuk dan tingkat kesulitan yang disesuaikan dengan kesiapan anak.
    • Memahami bahwa dalam proses memilih itu, anak juga perlu dikenalkan dan dibiasakan untuk menghadapi konsekuensi (akibat) dari pilihannya, agar ia juga belajar tentang tanggungjawab.
    • Memahami bahwa karena semua perilaku berorientasi pada kenyamanan, maka orang tua juga perlu bersiap-siap menghadapi situasi dimana anak membuat pilihan yang tidak sesuai dengan harapan orang tua.
    • Memahami bahwa untuk menjaga kendali atas anak, maka orang tua perlu membangun relasi yang menyenangkan sehingga anak merasa nyaman ketika berinteraksi dengan orang tua.

“Mediocre teacher: tells // Good teacher: explains // Excellent teacher: demonstrates // Great teacher: INSPIRES

So, ethics in teaching is putting the satisfaction of the needs and good of students.” (Anonymous)


Tulisan ini ditulis ulang dari buku “Kurangkul Diriku Demi Merangkul Bahagiaku”, karya Toge Aprilianto. Bagian keempat: Ayo Rangkul Bahagia, “Dalam Konteks Interpersonal”, halaman 158-164.

Share: