Setelah Smartparents berkenalan dengan Charlotte Mason, kali ini Charlotte Mason akan mengajak kita untuk melihat cara pandang orang tua terhadap pendidikan. Oleh karena itu, orang tua akan diajak untuk berpikir mengenai tujuan pendidikan untuk anaknya.
Visi Orang Tua Tentang Pendidikan
Charlotte Mason berpendapat bahwa ada 3 (tiga) pertanyaan yang musti dijawab oleh orang tua ketika mereka ingin bertanggungjawab penuh atas pendidikan anak-anaknya, yakni:
1. Mengapa anak perlu belajar?
2. Apa yang perlu anak pelajari?
3. Bagaimana sebaiknya anak mempelajari hal tersebut?
Jadi, jika orang tua sungguh-sungguh mencari jawaban yang meyakinkan untuk ketiga soal ini, maka orang tua akan mampu mengarahkan pendidikan anaknya.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut harus bisa dijawab secara berurutan oleh orang tua. Seperti, pertanyaan mengapa harus bisa diselesaikan lebih dulu sebelum apa dan bagaimana, sebab pertanyaan mengapa berurusan dengan visi orang tua tentang pendidikan. Karena, cara pandang orang tua terhadap pendidikan jelas akan berpengaruh pada praktik nyatanya. Contohnya seperti, ketika orang tua tidak mampu menjawab pertanyaan “mengapa anak bersekolah?”, “mengapa anak mengikuti kursus (bla…bla…bla…)?”. Misalnya, alasan orang tua karena prestise, karena di tempat tersebut disiplinnya paling bagus, atau karena tempat tersebut terkenal dan menjadi favorit, atau bisa juga karena mengusung nama agama, ataukah karena setelah lulus dari tempat tersebut bisa langsung bekerja, atau alasan-alasan lainnya.
Tanpa visi yang jelas, orang tua khususnya anak akan terombang ambing di tengah retorika marketing pendidikan dengan anak sebagai objek yang hanya bisa pasrah saat nasibnya dipertaruhkan.
Baca juga: Berkenalan Dengan Metode Charlotte Mason
Magnanimity
Menurut Charlotte Mason, orang tua mempunyai tugas yang tidak terbatas untuk pengembangan intelektual dan akademis anak. Salah satu aspek dari visi besar pendidikan menurut Charlotte Mason yaitu mendidik anak agar kelak anak tersebut dapat menjalani kehidupan yang layak/benar di bumi dan dengan harapan memperoleh kehidupan yang lebih mulia lagi di akhirat. Dari aspek inilah yang lebih mendasar untuk dibenahi melalui dunia pendidikan. Charlotte Mason menyebutnya sebagai “Magnanimity”, yakni sebuah gambaran ideal tentang pribadi yang seperti apa yang diharapkan terbentuk melalui proses pendidikan. Pribadi yang “magnanimous” merupakan sosok yang berpikiran besar, memiliki minat yang luas, tidak membiarkan dirinya terlalu disibukkan oleh masalah-masalah pribadi yang remeh, memiliki imajinasi yang berbudaya, kemampuan menimbang dan menilai yang terlatih, selalu siap menguasai kerumitan dalam profesi apapun. Sementara pada saat yang sama, tahu menempatkan dirinya sendiri dan bagaimana memanfaatkan segala kelebihannya untuk meningkatkan kebahagiaannya, kebahagiaan sesamanya, serta kesejahteraan masyarakatnya (menjadi sosok yang tidak hanya dapat mencari nafkah hidup, tetapi juga tahu bagaimana caranya hidup).
Jadi, magnanimity ini merupakan gabungan antara kesanggupan untuk berpikir tinggi (high thinking) sekaligus kesiapan untuk hidup bersahaja (lowly living); di satu sisi juga memikirkan gagasan-gagasan terbesar yang mungkin dicapai pikiran manusia, dan di sisi lain dapat menjalani pola hidup sederhana dan apa adanya. Seseorang dengan kepribadian “magnanimous” akan terbiasa bergulat dengan ide-ide filosofis yang paling abstrak atau riset-riset ilmiah yang paling rumit atau pun pengalaman-pengalaman artistik dan spiritual. Namun hal itu tidak menghalanginya untuk terjun mengerjakan tugas-tugas harian yang paling kasar atau kerja-kerja sosial yang paling kumuh.
Magnanimity dalam bayangan Charlotte Mason adalah segala kepahlawanan, kesetiakawanan, kesediaan berkorban, dan semua kebesaran hati manusia yang baru muncul ketika dihadapkan pada pertaruhan hidup dan mati. Dan jika ditelaah lebih lanjut, hal ini menjadi terlihat sebagai sebuah idealisme yang tinggi. Namun, Charlotte Mason meyakini bahwa anak memiliki potensi dengan kedalaman spiritual yang tidak terbatas, menyatakan bahwa bukan sesuatu yang tidak mungkin pribadi anak menjadi sosok yang magnanimous, asalkan orang tua terlebih dahulu tidak memandang remeh anak dengan memandang rendah potensi mereka dan menganggap mereka sebagai kertas kosong yang dapat ditulis semaunya.
Sejalan dengan hal itu, orang tua juga perlu mengimani bahwa anak manusia memiliki akal budi yang sanggup bekerja untuk mengasah potensi pribadinya dan menggerakan hidupnya secara mandiri apabila dididik dengan metode dan muatan-muatan yang tepat sebagai pemantik akal budi untuk dapat bekerja. Maka dari itu, untuk dapat mencapai ideal yang tinggi, prinsip-prinsip dari metode pendidikan Charlotte Mason menggunakan metode yang dapat bekerja dan kurikulum yang kaya akan ide hidup. Karena menurut Charlotte Mason, mengenai apa yang digunakan dalam mendidik dan bagaimana metode mendidik merupakan 2 (dua) hal penting yang harus sejalan (bukan terpisah) dan tidak ada yang lebih penting dari yang lainnya.
Referensi:
1. Charlotte Mason Book Series, Volume I: Home Education.
2. Charlotte Mason Book Series, Volume VI: Towards a Philosophy of Education.
3. Ellen Kristi, Cinta Yang Berpikir.
Kita sebagai ortu ga bisa terlalu memaksakan. Anak jg punya keinginan, makanya ortu harus mengarahkan & membimbing
Sekarang ini banyak sekali jenis parenting, ya Mom… dan tinggal kita mau menerapkan yang mana. Pastinya, tujuannya harus sesuai dengan value yang kita.
mom Nia, OMG bagus banget ulasannya. Reminder buat aku yg masih terombang ambing dlm pengasuhan hehe
Suka statement ini:
Tanpa visi yang jelas, orang tua khususnya anak akan terombang ambing di tengah retorika marketing pendidikan dengan anak sebagai objek yang hanya bisa pasrah saat nasibnya dipertaruhkan.
Menarik! Jadi pengen baca” lebih banyak bukunya Charlotte Mason Book Series ini 😍
Aku jadi tahu ttg Charlotte mason setelah baca tulisan mu ini mba :). Tapi aku setuju kok Ama pemikirannya. Krn memang pendidikan itu hak semua orang, bukan cuma anak2 yg kaya.
Dan yg aku suka yaaa, metode pengajaran dia melibatkan aspek spiritual juga, tidak hanya diminta pintar dalam hal duniawi. Krn memang harus begitu. Tanpa ada balance dari agama, hanya pintar belaka, mereka bisa menggunakan kepintarannya utk kejahatan. Beda kalo mereka juga berfikir untuk akhiratnya.
jadi seimbang antara duniawi & spiritual 🙂