Orang Tua Harus "Melek" Parenting

Sebagai orang yang baru dapat “gelar” orang tua membuat aku grasak grusuk saat praktiknya. Berbagai macam buku, seminar online-offline aku pelajari. Seolah-olah ingin tampil sempurna dalam hal parenting, padahal dalam praktiknya tetap keteteran dan terkadang nge-blank karena ilmu satu dan lainnya yang berbeda/bertolak-belakang.

Seiring dengan berjalannya waktu, sampai akhirnya aku merasa sreg dengan penjelasan parenting yang dijelaskan oleh Psikolog Toge Aprilianto (biasa aku sapa “OmGe”), dalam bukunya yang berjudul “Saatnya Melatih Anakku Berpikir”. OmGe menjelaskan tentang makna parenting yang menurut aku perlu untuk dibagikan di sini. Selain untuk catatan pembelajaran aku pribadi, ilmu ini juga bisa dibaca oleh para pembaca tulisan aku karena buku tersebut cukup sulit didapat. Jadi, mari sama-sama belajar 😉

Parenting
Parenting merupakan proses pengasuhan dan pendidikan anak sejak kelahirannya hingga mencapai kedewasaan personal. Jadi parenting itu dimulai sejak anak mulai dilahirkan dan akan selesai ketika anak tersebut dapat memenuhi kriteria untuk menjadi pribadi yang dewasa. Tidak hanya dewasa segara legal-formal (usia 17 tahun) dan fisiologis (organ reproduksi mulai berfungsi), tetapi juga dewasa secara mental. Nah, menurut aku yang terakhir ini yang sulit dan membuat aku berkaca “apakah aku sudah dewasa secara mental?” (>,<)

Menurut buku ini bahwa kedawasaan mental berbeda dengan kedewasaan fisik, karena kedewasaan fisik bisa berlangsung secara otomatis seiring pertumbuhan fisik setiap orang sedangkan kedewasaan mental tidak dapat berlangsung secara otomatis sehingga memerlukan keterlibatan orang lain (biasanya orang tua). Secara prinsip, kedewasaan mental dapat diketahui dengan ukuran sebagai berikut:

  1. Kesanggupan (mau sekaligus mampu) mengelola dirinya secara mendiri, oleh sebab itu anak perlu memiliki kesanggupan berpikir;
  2. Kesanggupan (mau sekaligus mampu) mempelajari dan menguasai hal baru, oleh sebab itu anak perlu dibantu untuk kenal, terbiasa, serta mampu belajar dan menguasai hal baru; dan
  3. Kesanggupan (mau sekaligus mampu) terlibat dalam kehidupan sosial, oleh sebab itu anak perlu dibantu untuk kenal, terbiasa, dan mampu dalam menjalin relasi dengan orang lain secara harmonis.

Orang tua perlu mengupayakan agar kedewasaan mental dapat dicapai sejalan dengan proses kedewasaan fisik yang berlangsung secara otomatis. Mengapa ini menjadi penting? Karena masalahnya di zaman sekarang ini kedewasaan fisik sudah mengalami pergeseran dalam prosesnya, contohnya seperti kesiapan reproduksi yang pada masa lalu biasanya dialami ketika anak berusia belasan tahun, namun belakangan ini sudah mulai dialami oleh anak di usia 9-10 tahun, bahkan di bawahnya. Sementara itu, proses pendewasaan mental masih sulit dicapai pada usia itu mengingat pola kehidupan bermasyarakat yang relatif tidak mengalami banyak perubahan dari waktu ke waktu. Bila terjadi kesenjangan antara kedewasaan fisik dengan kedewasaan mental akan menimbulkan masalah yang makin rumit dikemudian hari, mengingat kesiapan anak-anak menghadapi perubahan kondisi fisik memerlukan kemantapan kualitas pribadi (mental) yang memadai. Hal seperti ini yang melatarbelakangi fenomena sulitnya orang tua mengelola remaja sehingga makin banyak persoalan sosial yang melibatkan remaja, khususnya yang berkaitan dengan seks karena kesenjangan antara kedewasaan fisik dengan kedewasaan mental yang terlalu jauh membuat “masa tunggu” dari saat “fungsi reproduksi siap” hingga saat “boleh menikah” menjadi makin lama. Akibatnya remaja tersebut menghadapi tuntutan untuk mengelola dorongan seks yang mulai berkembang dan semakin kuat dari hari ke hari, sejalan dengan tuntutan alamiah untuk menunaikan fungsi reproduksi.

Yang Terlibat Dalam Parenting
Di dalam komunitas yang dinamis seperti sekarang ini, orang tua tidak mungkin lagi membatasi akses yang dimiliki oleh anak. Jadi, walaupun orang tua mampu melakukan fungsi parenting secara mandiri, tetap saja orang tua tidak mungkin menutup akses pengaruh lingkungan yang dalam praktiknya sudah hampir tidak dapat dikelola. Maka dari itu, parenting memerlukan pelibatan banyak orang, seperti:

  1. Orang tua yang menjadi agen utama dalam asuh-didik di kehidupan tiap anak. Walau kemudian tidak ada keterlibatan orang tua kandung, anak tersebut pasti akan memiliki sosok manusia yang dikenal sebagai orang tua (role model), seperti orang tua asuh, orang tua angkat, orang tua pengganti, atau orang tua informal (tidak ada ikatan relasi secara formal-fungsional, maka peran ini bisa dimainkan oleh orang tua teman atau bahkan teman yang dituakan);
  2. Keluarga atau kerabat;
  3. Lembaga pendidikan beserta pemerintah (dalam komunitas besar dan beragam); dan
  4. Masyarakat (dalam komunitas tempat tinggal, termasuk juga pengasuh, pembantu, sopir, dan orang lain yang bukan anggota keluarga, kerabat dan tetangga tetapi punya intensitas pertemuan dan interaksi yang relatif tinggi dan ajeg dengan anak).

Menjadi catatan bahwa orang tua harus mencermati tentang keberadaan dan dinamika kepribadian orang-orang yang terlibat dalam parenting, hal ini perlu dipahami secara bijak agar pengaruh yang mereka paparkan terhadap anak-anak sedapat mungkin bisa orang tua kelola agar menjadi pengaruh yang mendukung.

Cara Melakukan Parenting

  1. Orang tua perlu memahami bahwa sudah tidak zamannya lagi ada pemisahan tanggungjawab dan kewenangan antara suami dan istri berkaitan dengan parenting. Sebagai orang tua, suami dan istri adalah dwitunggal. Jadi tanggungjawab dan kewenangan menjadi milik bersama dan perlu ditampilkan secara nyata agar anak mengerti bahwa Bapak dan Ibu adalah satu kesamaan. Karena bila hal ini gagal dibangun, maka harap dimaklumi kalau anak akhirnya akan mengembangkan keterampilan melakukan manipulasi dan memanfaatkan celah diantara Bapak dan Ibunya;
  2. Tugas orang tua adalah membantu anak untuk belajar, jadi pastikan orang tua menyediakan fasilitas untuk membantu proses belajar bukan memberikan fasilitas agar anak terhindar dari kesulitan. Hal ini sangat penting, karena banyak orang tua yang pada akhirnya mengeluh karena anaknya tidak mandiri atau tidak bertanggungjawab, padahal nyatanya hal itu disebabkan oleh perlakuan orang tua yang memang tidak mendukung upaya anak belajar menjadi mandiri dan bertanggungjawab. Bila sikap ini gagal dibangun, maka pada saatnya anak akan mengerti bahwa ia tidak perlu berusaha keras karena orang tua akan siap sedia untuk membantu. Hasilnya, anak akan menjadi tidak bisa atau bahkan akan berpura-pura tidak bisa;
  3. Pola parenting yang horizontal (sejajar) dengan memastikan bahwa anak merasa diperlakukan setara sehingga pada saatnya anak juga akan terbiasa memperlakukan orang lain dalam konsep kesetaraan;
  4. Orang tua memberikan fasilitas yang diperlukan oleh anak untuk belajar menghadapi situasi sulit, bukan fasilitas agar anak terhindar dari situasi sulit;
  5. Orang tua berperan sesuai dengan kebutuhan anak. Bila anak memerlukan teladan, berikanlah contoh. Bila anak memerlukan rekanan, bantulah ia belajar bekerjasama. Bila anak memerlukan pendapat, bersikaplah sebagai konsultan, bukan sebagai komandan. Oleh karena itu, orang tua perlu memahami anak sebagai dirinya secara utuh, perlakukan anak sedemikian rupa sehingga ia merasa dipahami. Harapannya, anak menjadi terbiasa memahami orang lain;
  6. Berbesar hatilah orang tua untuk minta maaf kepada anak, kalau kita memang melakukan kesalahan atau membuatnya berada dalam situasi yang dirugikan; dan
  7. Pastikan orang tua sudah selesai menjadi anak-anak agar kita tidak terjebak dalam strategi kekanakan yang biasanya muncul dalam bentuk “adu-menang” karena masing-masing pihak bersikeras memaksakan kehendaknya.

Isi Dari Parenting
Parenting dilakukan dengan mengamankan dan mengembangkan faktor-faktor sebagai berikut:

  1. Faktor fisik, termasuk di dalamnya tentang kebersihan, kesehatan, keselamatan, pertumbuhan kekuatan-fungsi, dan kesejahteraan fisik sehingga mampu membantu untuk merawat diri;
  2. Faktor kognisi, termasuk di dalamnya menjaga keadilan dan kedamaian, membangun kebersamaan, membangun suasana belajar, menyediakan kesempatan belajar. Untuk itu orang tua perlu berbesar hati agar siap menjadi (tampak) tega karena menyediakan kesempatan belajar yang pada akhirnya juga akan berarti membiarkan anak berbuat salah dan menghadapi akibat dari kesalahannya;
  3. Faktor emosi, termasuk di dalamnya konsep kasih sayang dan penerimaan sosial, serta kedekatan dan kepedulian sosial
  4. Finansial; dan
  5. Jaminan akses keilmuan.

Bila membahas mengenai tumbuh-kembang anak terkait dengan masalah pendidikan ataupun aktivitas sekolah, maka kecerdasan menjadi hal utama yang banyak dibicarakan. Orang tua hampir selalu berpikir bahwa kecerdasan menjadi hal yang paling penting diupayalam untuk tumbuh-kembang hingga titik optimal. Jadi menurut para orang tua bahwa kecerdasan merupakan faktor penentu keberhasilan hidup seorang anak kelak di kemudian hari. Namun jika kita renungkan sejenak, sebetulnya untuk kepentingan siapa kita bicara hal itu? Untuk kepentingan anak? Atau jangan-jangan sebenarnya untuk kepentingan orang tua?

Berkait dengan isu tentang kecerdasan, maka yang perlu dipahami adalah bahwa fokus perhatian orang tua selalu pada makna kecerdasan, bukan skor/nilai angka yang mewakili/menunjukkan posisi anak dibanding anak lain di kelompok usianya. Maka dari itu, pola berpikir orang tua perlu diarahkan untuk memahami bagaimana tingkat kemampuan si anak mengolah dan memanfaatkan pengetahuan yang dimiliki untuk dapat hidup lebih baik, bukannya sekedar menjadi tahu apakah si anak dinilai lebih baik atau kurang baik dibandingkan anak lain yang seusianya.

Jadi bukan fokus pada kecerdasan saja, sebenarnya yang perlu dilakukan orang tua untuk membantu proses tumbuh-kembang anak hingga ke titik optimal yakni orang tua perlu menjamin bahwa anak-anak memiliki keterampilan hidup yang memadai. Orang tua perlu mengetahui dan memahami jenis-jenis keterampilan hidup apa sajakah yang perlu dikuasai anak-anak agar mereka benar-benar siap ketika akhirnya masuk dalam kehidupan sebagai pribadi yang mandiri.

Share: