
Setelah membaca buku karya Toge Aprilianto yang berjudul “Saatnya Melatih Anakku Berpikir”, aku tertarik ketika ia pembahasan keterampilan hidup: berkarya.
Aku setuju dengannya yang menulis bahwa “bila orang tua berharap anak mampu untuk berdikari (berdiri di atas kaki sendiri) atau menjadi pribadi yang mandiri, maka orang tua perlu membantu anak-anak jadi terbiasa berusaha mendapatkan sesuatu dengan usahanya sendiri, bukan hasil meminta apalagi mencuri atau bahkan membunuh”.
Dari keterampilan hidup: berkarya, harapannya adalah anak-anak tidak menjadi pribadi yang egois dan penuntut, sehingga dinamika kehidupan di dalam keluarga dapat menjadi nyaman, karena semua pihak sanggup (mau sekaligus mampu) bersepakat secara sehat. Hal ini dilakukan agar anggota keluarga dapat saling bermanfaat dan relasi yang terjalin dapat terus berkelanjutan secara harmonis.
Ternyata berkarya ini merupakan keterampilan hidup yang menjadi puncak dari bekal hidup yang perlu dimiliki pada tiap anak, untuk siap menghadapi kehidupan sebagai orang dewasa. Ini dilatarbelakangi pemahaman bahwa orang dewasa dituntut untuk sanggup mengelola perilakunya secara menyuruh dimana pikiran, perasaan, tindakan dan kondisi fisik digunakan secara bersamaan dalam satu situasi hidup.
Berkarya dalam artian upaya mencari nafkah membuat anak perlu dibekali pengetahuan tentang beragam aktivitas bekerja yang dapat digunakan sebagai sumber penghasilan/nafkah. Pengetahuan bahwa apapun aktivitas bekerja yang dipilihnya, akan selalu mengandung tuntutan untuk berusaha. Jadi energi harus disediakan untuk sanggup bekerja.
Orang tua perlu membantu anak-anak untuk mengenali jenis-jenis pekerjaan yang biasa dilakukan orang. Selain itu, orang tua juga perlu membantunya belajar melakukan analisis guna mengetahui apa yang perlu dilakukan bila anak ingin menekuni jenis pekerjaan tertentu. Ini bertujuan agar anak terbiasa mempertimbangkan hal-hal yang mungkin dihadapi, sebelum anak tersebut membuat keputusan.
Bagaimana caranya? Orang tua dapat mengajak anak-anak melihat pelaku beragam profesi dan bercerita tentang apa yang dilakukan oleh pelaku profesi tersebut. Apabila memungkinkan, anak boleh diajak untuk mengalami aktivitasnya, agar anak memiliki wawasan tentang sensasi dalam melakukan profesi tersebut.
Tujuannya, anak dapat membangun fantasi tentang profesi yang akan ditekuni kelak, dan orang tua juga dapat membantu merancang strategi pencapaian cita-cita anaknya. Untuk itu, tiap kali anak-anak menyatakan sebuah cita-cita, maka ajaklah anak untuk berdiskusi agar dapat memahami dan mejawab pertanyaan-pertanyaan berikut, seperti:
- Bila itu yang ingin kamu tekuni, apa yang perlu dikuasai agar kamu bisa menekuni profesi tersebut?
- Bila hal-hal itu yang perlu dikuasai, berarti kamu perlu belajar apa?
- Bila hal-hal itu yang perlu dipelajari, berarti saat ini kamu perlu melakukan apa?
- Jadi, maukah kamu melakukan hal-hal itu, mulai hari ini?
Pertanyaan-pertanyaan itu diharapkan dapat membantu anak dalam mengenali hal-hal yang saat ini perlu dilakukan dan berkaitan dengan keinginannya menekuni bidang profesi yang dicita-citakan. Dengan begitu, diharapkan anak akan lebih siap dan bersedia melakukan apa yang perlu dilakukannya saat ini.
Mengingat wawasan dan pengalaman yang dimiliki anak masih relatif terbatas, maka yang perlu orang tua pahami sebagai kewajaran kalau anak-anak memiliki banyak cita-cita atau sering mengubah cita-citanya. Bila hal itu terjadi, orang tua tidak perlu cemas atau marah. Tanggapi saja hal tersebut sebagai hal yang biasa, sambil mengajak anak untuk berdiskusi tentang pertanyaan-pertanyaan di atas, agar anak mengerti apa yang perlu dilakukannya saat ini bila ingin mencapai cita-cita barunya. Demikian seterusnya, selama anak masih berubah cita-citanya. Mungkin karena alasan bosan, berat, sulit atau karena cita-citanya yang baru dinilai lebih enak.
Selamat memfasilitasi anak dalam mencapai cita-citanya.
betul sekali dan lihat potensi yang ada di anak ya
benar mbak 😉
Didampingi dalam memilih, ya, Mbak. Bukan serta-merta memilihkan. Supaya lebih terarah juga, ya.
Betul Mbak, kalo memilihkan malah jadi keinginan orang tuanya bukan keinginan anak 😀