Sekolah adalah Tempat Bekerja untuk Anak

Masa Berburu
Dalam sejarah biologis manusia, sekolah merupakan institusi yang baru. Selama ratusan ribu tahun yang lalu, bahkan sebelum budaya pertanian muncul, manusia hidup sebagai pemburu dan pengumpul. Hal ini terlihat dari bukti-bukti Antropologi bahwa anak-anak dalam masa ini belajar apa yang perlu mereka ketahui untuk menjadi orang dewasa yang efektif, melalui permainan dan eksplorasi yang mereka lakukan sendiri. Dalam diri anak-anak teradapat dorongan kuat untuk bermain dan bereksplorasi untuk memenuhi kebutuhan pengetahuannya. Orang dewasa dalam masa ini memberikan kebebasan tak terbatas kepada anak-anak mereka untuk bermain dan berekplorasi sendiri karena mereka mengakui bahwa kegiatan itu adalah cara alami mereka untuk belajar.

Masa Bertani – Masa Industri
Penemuan dalam pertanian, dimulai sejak 10.000 tahun yang lalu. Hal ini menjadi perubahan dalam cara hidup masyarakat. Cara hidup masa berburu kurang efektif, untuk itu manusia harus memperoleh pengetahuan yang luas tentang tanaman dan hewan tempat mereka bergantung dan tentang lingkungan/alam tempat mereka mencari makan. Manusia juga harus mengembangkan keterampilan dalam membuat dan menggunakan alat berburu dan mengumpulkannya. Manusia juga harus dapat mengambil inisiatif dan menjadi kreatif dalam menemukan makanan dan bermain. Namun, mereka tidak harus bekerja berjam-jam dan pekerjaan yang mereka lakukan menyenangkan, bukan sesuatu yang membosankan.

Para Antropolog melaporkan bahwa masa berburu yang mereka pelajari tidak membedakan antara bekerja dan bermain. Karena pada dasarnya semua kehidupan dipahami sebagai permainan. Namun ternyata, pada masa bertani secara bertahap dapat mengubah semua itu. Melalui pertanian, orang dapat menghasilkan lebih banyak makanan yang memungkinkan manusia memiliki lebih banyak anak. Pertanian juga memungkinkan manusia untuk tinggal di tempat tinggal yang permanen, dimana tanaman mereka ditanam, dari pada hidup secara nomaden dan ini pada gilirannya memungkinkan manusia untuk mengumpulkan properti. Tetapi perubahan ini terjadi memerlukan biaya yang sangat besar dalam sumber daya manusia. Sementara para pemburu-pengumpul dengan terampil memanen apa yang telah tumbuh di alam, sedangkan para petani harus membajak, menanam, membudidayakan, memelihara ladang pertanian, kawanan ternak, dan sebagainya. Keberhasilan pertanian membutuhkan jam kerja panjang yang relatif kurang membutuhkan keterampilan, berulang-ulang, yang juga bisa dilakukan oleh anak-anak.

Dengan jumlah anggota keluarga yang besar, anak-anak harus bekerja di ladang untuk membantu memberi makan adik, atau mereka harus bekerja di rumah untuk membantu merawat anggota keluarga. Kehidupan anak-anak berangsur-angsur berubah dari mengejar kebebasan atas minat mereka sendiri menjadi semakin banyak waktu yang dihabiskan di tempat kerja untuk melayani anggota keluarga.

Untuk pertama kalinya dalam sejarah, pertanian, kepemilikan tanah, serta mengumpulkan properti ternyata menciptakan perbedaan status. Orang-orang yang tidak memiliki tanah menjadi tergantung pada mereka yang memilikinya. Juga pemilik tanah berpikir bahwa mereka dapat meningkatkan kekayaannya dengan membuat orang lain bekerja untuk mereka. Sistem perbudakan dan bentuk perbudakan lainnya mulai dikembangkan. Mereka yang kaya bisa lebih kaya dengan bantuan orang lain yang bergantung pada mereka untuk bertahan hidup. Hal ini mencapai puncaknya pada masa feodalisme di abad pertengahan. Ketika masyarakat menjadi sangat hirarkis, dengan posisi raja-raja berada di atas dan budak berada di bawah.

Saat itu kebanyakan orang adalah budak, termasuk anak-anak. Pelajaran utama yang harus dipelajari anak-anak adalah kepatuhan, penindasan atas keinginan mereka sendiri, dan menunjukkan rasa hormat kepada para tuan tanah. A rebellious spirit could well result in death!

Abad Pertengahan
Pada abad pertengahan, para penguasa dan tuan tanah tidak ragu-ragu melakukan kekerasan fisik pada anak-anak. Hal itu dilakukan agar anak-anak tunduk dan patuh pada para penguasa dan tuan tanah. Dengan bangkitnya industri dan kelas borjuis, maka feodalisme secara bertahap mereda, tetapi ini tidak segera dapat meningkatkan kualitas kehidupan anak-anak. Pemilik bisnis, seperti pemilik tanah, membutuhkan buruh untuk dipekerjakan. Pemilik bisnis tersebut membuat para buruh bekerja mati-matian, memerah tenaga mereka sampai tetes terakhir, tetapi para buruh tersebut dibayar dengan bayaran yang sangat sedikit.

Semua orang tahu tentang eksploitasi yang terjadi pada para buruh, dan itu terjadi di berbagai belahan dunia. Orang-orang, termasuk juga anak-anak, sebagian besar waktunya dihabiskan untuk bekerja, tujuh hari dalam seminggu dan dalam kondisi yang mengerikan, hal ini dilakukan hanya untuk bertahan hidup.

Buruh anak-anak dipindahkan dari ladang yang setidaknya mendapat sinar matahari, udara segar, dan beberapa peluang untuk bermain, ke pabrilk yang gelap, ramai, dan kotor. Meski anak-anak, mereka diperlakukan seperti budak. Sangat banyak dari mereka meninggal setiap tahunnya karena penyakit, kelaparan, dan kelelahan.

Tidak sampai abad ke-19 Inggris mengeluarkan UU (Undang-Undang) yang membatasi pekerja anak. Pada tahun 1883, misalnya, UU baru melarang produsen tekstil memperkerjakan anak-anak di bawah usia 9 tahun dan membatasi jam kerja maksimum mingguan menjadi 48 jam untuk usia 10 – 12 tahun dan 69 jam untuk usia 13-17 tahun.

Singkatnya, selama beberapa ribu tahun setelah munculnya pertanian, pendidikan anak-anak sampai taraf tertentu memang dirancang untuk memenuhi kebutuhan tuan (orang dewasa). Pendidikan dibuat untuk menghilangkan kemampuan anak dalam bermain, bereksplorasi mencari ilmu pengetahuan yang sesuai dengan keinginan serta cita-cita mereka. Pendidikan memiliki tujuan yang terang benderang, untuk menjadikan anak-anak sebagai pekerja yang baik, taat, dan menekan keinginannya untuk bermain dan mengeksplorasi, serta dengan patuh melaksanakan perintah tuan (orang dewasa).

Pendidikan seperti itu untungnya tidak pernah sepenuhnya berhasil. Naluri manusia untuk bermain dan bereksplorasi sangat kuat. Naluri itu tidak akan pernah bisa dihilangkan sepenuhnya dari diri seorang anak. Tetapi tentu saja filosofi pendidikan sepanjang periode itu sampai pada taraf yang dapat diartikulasikan adalah kebalikan dari filosofi yang dimiliki oleh seperti pada masa berburu.

Pendidikan Sebagai Penanaman
Ketika industri berkembang dan menjadi sedikit lebih otomatis, kebutuhan akan pekerja anak menurun di beberapa bagian dunia. Gagasan mulai menyebar bahwa masa kanak-kanak harus menjadi waktu untuk belajar, dan sekolah untuk anak-anak dikembangkan sebagai tempat untuk belajar. Gagasan dan praktik pendidikan umum universal wajib dikembangkan secara bertahap, contohnya di Eropa. Dari awal abad ke-16 hingga abad ke-19. Gagasan ini memiliki banyak pendukung yang ternyata semuanya memiliki agenda mereka sendiri mengenai pelajaran yang harus dipelajari anak-anak. Seperti pengusaha (bidang industri) melihat sekolah sebagai cara untuk menciptakan pekerja yang lebih baik. Bagi mereka, pelajaran yang paling penting adalah ketepatan waktu, mengikuti arahan, loyalitas untuk kerja berjam-jam yang membosankan, dan kemampuan minimal untuk membaca dan menulis.

Ketika bangsa-bangsa menjadi lebih tersentralisasi, para pemimpin nasional melihat sekolah sebagai sarana untuk menciptakan jiwa patriot yang baik di masa depannya. Bagi mereka, pelajaran penting adalah tentang kejayaan tanah air, prestasi luar biasa dan kebaikan moral pendiri/pemimpin bangsa, serta perlunya mempertahankan bangsa dari kekuatan “jahat” bangsa lain.

Selain itu, ada juga kaum reformis yang benar-benar peduli pada anak-anak. Mereka adalah orang-orang yang melihat sekolah sebagai tempat untuk melindungi anak-anak dari hal-hal yang merusak dan untuk memberi anak-anak landasan moral serta intelektual yang diperlukan untuk berkembang menjadi orang dewasa yang kompeten. Tetapi juga mereka memiliki agenda untuk apa yang harus dipelajari oleh anak-anak seperti belajar tentang moral, disiplin, bahasa latin dan matematika.

Jadi, semua orang dewasa yang terlibat dalam pendirian dan dukungan sekolah memiliki kepentingan, tujuan, dan konsep yang jelas tentang pelajaran apa saja yang harus dipelajari anak-anak di sekolah. Hampir tidak ada yang percaya bahwa anak dapat diberika kebebasan dalam belajar, bahkan di dalam lingkungan yang memiliki banyak hal untuk dipelajari. Anak-anak hanya akan belajar sesuatu yang dianggap penting oleh orang dewasa.

Saat itulah sekolah menjelma menjadi tempat untuk menanamkan kebenaran dan cara berpikir tertentu ke dalam pikiran anak-anak. Kebenaran dan cara berpikir yang seragam, yang sesuai dengan versi pemilik sekolah. Sekolah-sekolah semacam ini hanya mengenal satu metode penanaman nilai ke dalam pikiran anak-anak, yaitu metode pengulangan paksa. Sedangkan untuk mengetahui keberhasilannya, sekolah akan melakukan pengujian ingatan atas apa yang telah diulang-ulang tersebut.

Belajar Sebagai Pekerjaan Anak-Anak
Pengulangan dan menghafal pelajaran adalah pekerjaan yang membosankan bagi anak-anak, karena mereka memiliki insting yang mendorong mereka untuk terus-menerus bermain bebas dan melakukan eksplorasi secara mandiri. Kegiatan mengulang dan menghafal membuat anak-anak tidak mudah beradaptasi dengan sekolah, sebagaimana mereka juga tidak mudah beradaptasi dengan bekerja di ladang dan pabrik.

Pada titik ini, gagasan bahwa hasrat keinginan anak memiliki nilai sendiri sudah dilupakan. Semua orang berasumsi bahwa untuk membuat anak-anak belajar di sekolah, keinginan anak-anak untuk bermain dan melakukan eksplorasi harus dihilangkan, minimal harus ditekan semaksimal mungkin agar tidak muncul saat belajar. Hal itu menyebabkan segala macam hukuman dipahami sebagai nilai bagi proses pendidikan.

Di beberapa sekolah anak-anak (pada periode/usia tertentu) diizinkan bermain (istirahat), agar mereka dapat melepaskan ketegangan, tetapi bermain tidak dianggap sebagai kegiatan pembelajaran. Karena di dalam kelas, bermain adalah musuh dari kegiatan pembelajaran.

The brute force methods yang telah lama digunakan untuk menjaga anak-anak ketika bekerja di pertanian atau di pabrik digunakan juga di sekolah untuk membuat anak-anak “belajar”. Tidak sedikit juga guru yang melakukan tindakan sadis, seperti cambukan; pukulan dengan benda keras; pukulan yang diberikan ke anggota tubuh. Bahkan, tidak menutup kemungkinan guru tersebut merasa bangga dengan metode the brute force yang telah dilakukannya.

Pada abad ke-19 dan ke-20, sekolah umum secara bertahap berkembang menuju apa yang kita kenal sekarang sebagai sekolah konvensional. Metode disiplin menjadi lebih manusiawi; kurikulum diperluas seiring berkembangnya pengetahuan untuk memasukkan daftar mata pelajaran yang terus bertambah dan jumlah jam – hari – tahun sekolah wajib meningkat terus. Sekolah secara bertahap menggantikan kerja di ladang, pekerjaan pabrik, dan pekerjaan rumah tangga sebagai pekerjaan utama seorang anak. Sama seperti orang dewasa yang menempatkan 8 jam sehari di tempat kerja, anak-anak kini juga menempatkan 6 jam (rata-rata) dalam sehari di sekolah, ditambah dengan 1 jam lagi (atau mungkin lebih) untuk mengerjakan pekerjaan rumah, dan seringkali lebih banyak jam pelajaran tambahan di luar sekolah. Seiring waktu, kehidupan anak-anak menjadi semakin terdefinisi dan terstruktur oleh kurikulum sekolah. Anak-anak sekarang ini hampir secara universal diidentifikasi berdasarkan nilai mereka di sekolah, seperti halnya orang dewasa diidentifikasikan oleh pekerjaan atau karier mereka.

Sampai saat ini dasar pemikiran sekolah tentang sifat belajar tetap tidak berubah. Belajar adalah kerja keras; itu adalah sesuatu yang harus dipaksa untuk dilakukan anak-anak, bukan sesuatu yang akan terjadi secara alami melalui kegiatan yang dipilih sendiri oleh anak-anak. Pelajaran khusus yang harus dipelajari anak-anak ditentukan oleh pendidik professional, bukan oleh anak-anak sendiri sehingga pendidikan saat ini masih merupakan masalah penanaman.

Saat ini sekolah merupakan tempat dimana semua anak belajar perbedaan antara bekerja dan bermain. Seorang guru berkata, “Kamu harus melakukan pekerjaan (belajar), dan kemudian kamu bisa bermain.” Pesan ini jelas menunjukkan bahwa pekerjaan yang mencakup semua pembelajaran sekolah merupakan sesuatu yang tidak ingin dilakukan tetapi harus dilakukan, sedangkan bermain merupakan sesuatu yang ingin dilakukan tetapi memiliki nilai yang relatif rendah/kecil.

Untuk para pendidik yang cerdas saat ini mungkin lebih menggunakan “permainan” sebagai alat untuk membuat anak-anak menikmati beberapa pelajaran mereka, dan anak-anak mungkin diperbolehkan bermain untuk beberapa waktu pada jam istirahat, tetapi permainan yang dilakukan anak-anak tentu saja dipahami sebagai sesuatu yang tidak memadai sebagai dasar pendidikan. Memang, saat ini anak-anak yang memiliki dorongan bermain yang kuat sehingga mereka tidak bisa duduk diam dalam pelajaran di kelas tidak lagi dipukul, tetapi mereka akan dianggap sakit atau memiliki kelainan sehingga perlu “diobati” (mendapat pendampingan khusus secara psikologis).

Tulisan ini sebagai sarana berbagi informasi mengenai sejarah manusia telah mengarah pada perkembangan sekolah seperti yang kita kenal sekarang ini.


Referensi:

  1. Gutek, G. L. (1991), An historical introduction to American education, 2nd edition.
  2. Mulhem, J. (1959), A history of education: A social interpretation, 2nd edition.
Share: